Akrobat Bahasa Di Panggung Politik Nasional. Ancaman Serius Peradaban?

0
50

JAKARTA, NUSANTARANETWORK.COM-Saling menyindir dan melempar pernyataan di publik kini jadi fenomena dalam kehidupan berpolitik kita. Para politisi senang membuat publik bingung di tengah situasi yang terang benderang. Dan seringkali publik dibuat kecele atau tertipu dengan pernyataan yang dilempar oleh elite.

Fenomena demikian menurut Acep Iwan Saidi, Pakar Semiotika yang juga Ketua Forum Studi Kebudayaan Fakultas Seni Rupa Desain Intstitut Teknologi Bandung (FSRD ITB) karena saat ini Politik kita memang nyaris seluruhnya panggung bahasa.

“Artinya, di hadapan politik kita hanya menyaksikan bagaimana kata-kata dimainkan. Akrobat bahasa ini dilakukan dengan berbagai tujuan, antara lain, menciptakan keriuhan (noise). Menciptakan keriuhan berarti mengubur atau, paling tidak, menyamarkan sesuatu yang jernih. Jadi, hal-hal yang tampaknya ingin dipreteli atau dibongkar hingga sampai tahap vulgar sesungguhnya justeru untuk menyembunyikan fakta yang sesungguhnya,” katanya.

Ia melanjutka, hal itu pula mengapa publik sering kecele. Dan banyak diantara kita menyebutnya kena “prank”—satu istilah yang populer dalam era media sosial, semacam ungkapan untuk meringankan keadaan atau nuansa emoisonal yang “tertipu” (tipuan seolah-olah hanya lelucon).

Jadi, imbuhnya, dalam pandangan Acep bahwa seringkali para politisi banyak menutupi sesuatu dengan melempar pernyataan, opini, menyusun istilah, dan lainnya, yang seolah-olah istilah atau pernyataan tersebut dapat membuka sesuatu itu. Coba, katanya, jika dibandingkan dengan era orde baru. “Saat itu kita tidak mengetahui sesuatu sebab ia memang disembunyikan, namun hari ini semuanya seolah-olah dibuat terang, padahal sesungguhnya dibuat gelap,” katanya. Hal tersebut disebut Acep sebagai salah satu dari lorong gelap demokrasi.

Ia pun memberikan contoh seperti halnya yang terjadi dalam Munas Golkar Akhir Agustus 2024 silam, yang membuat Bahlil Lahadialia, Menteri ESDM didapuk menjadi ketua Umum Golkar 2024-2029 dan saat Kongres PAN di akhir Agustus pula, Zulkifli Hasan menyebut bahwa Bahlil Lahadilia merupakan sosok politisi yang hebat, dan licin.

Menurut Acep Iwan Saidi, dalam konteks semiotika, apakah Bahlil licin seperti yang “disindirkan” kepadanya? “Dipanggung bahasa tampak demikian. Namun, siapa yang mengetahui fakta sebenarnya? Pasti hanya Bahlil dan elit di sekitarnya saja yang tahu,” ujarnya.

Di situ, ia menambahkan, bahwa Bahlil berhasil menjadi Ketum Golkar bisa jadi bukan karena kelicinan yang tampak di panggung bahasa, melainkan, sambungnya, bisa jadi karena kekuatan lain di baliknya. Coba perhatikan, Acep menegaskan, misalnya, kode proaretik (naratif) yang berujung pada keberhasilan Bahlil menjadi ketum Golkar tersebut, bukankah ia maju karena Airlangga Hartarto mundur? Bukankah kemundurannya juga ganjil, yakni tersebab hanya karena persoalan pribadi? Lalu apa masalah pribadinya?.

“Bagaimana mungkin parpol sekaliber Golkar selesai begitu saja menanggapi alasan kemunduran ketua umumnya? Kewarasan kita lagi-lagi sulit menerima hal itu. Kausalitas pada narasi semiosis ini kemudian ditutup dengan permainan bahasa,” ujanya.

Sama halnya dengan ungkapan Bahlil terkait “Raja Jawa”. “Apakah Jokowi adalah Raja Jawa sebagaimana publik mengasosiasikannya dari ungkapan Bahlil? Seorang raja tidak bisa dilihat saat ia berkuasa saja, tetapi kharismanya akan memanjang dalam sejarah. Jadi, kita lihat saja 3-4 tahun kemudian setelah Jokowi tidak lagi jadi presiden,” katanya.

Sekali lagi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB ini menegaskan terlepas dari semua itu, akrobatik kata-kata di panggung bahasa, secara semiotis, adalah penanda bahwa para politisi itu sudah tidak menghormati bahasa. “Dan saat bahasa sudah tidak dihormati, orang bisa mengatakan apapun. Realitas ini yang tengah terjadi sekarang. Dan ini adalah ancaman serius untuk peradaban,” katanya.

Leave a reply